Yogyakarta//Linksumsel-Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, berada di persimpangan jalan dalam transisi energi menuju keberlanjutan. Saat dunia semakin mengarahkan perhatian pada perubahan iklim dan pencarian alternatif energi yang ramah lingkungan, Indonesia memiliki potensi besar untuk bertransformasi menjadi pemimpin dalam energi terbarukan.
Namun, di balik potensi besar ini terdapat tantangan yang kompleks, termasuk kekuatan oligarki yang masih sangat kuat dalam sektor energi. Saat negara berupaya mengalihkan ketergantungan pada energi fosil ke energi terbarukan, muncul pertanyaan kritis: apakah langkah-langkah ini benar-benar merupakan respons terhadap tuntutan keberlanjutan dan keadilan sosial, atau justru sebagai justifikasi untuk melanjutkan eksploitasi sumber daya alam yang lebih dalam, yang pada akhirnya dapat melahirkan permasalahan lain yang lebih besar?
Dalam hal ini, transisi energi tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis dan ekonomi, tetapi juga menyentuh isu sosial dan politik. Mayoritas populasi di Indonesia, terutama komunitas lokal dan masyarakat adat, sering kali terasingkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang memengaruhi aktivitas dan kehidupan mereka. Apalagi, pemerintah pada saat ini belum terlihat serius dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat melalui undang-undang yang mengatur masyarakat adat, yang sampai saat ini belum disahkan.
Selain itu, agenda transisi energi di Indonesia sangat terang-terangan menampakkan dua wajah yang berbeda. Pemerintah seolah mengagungkan bahwa transisi energi berdampak positif bagi pengurangan emisi karbon dan pembangunan ekonomi.
Di sisi lain, transisi energi seakan melahirkan masalah lain yang serius. Di Indonesia, transisi energi justru dapat menyebabkan persoalan bagi masyarakat sekitar, seperti kerusakan lingkungan. Di beberapa daerah, transisi energi mengalami berbagai penolakan. Misalnya, yang terjadi di Rempang, proyek negara seperti Ecocity, yang di dalamnya terdapat pabrik panel surya yang mengatasnamakan transisi energi, banyak ditentang oleh masyarakat sekitar.
Potensi Eksploitasi Baru yang Merusak Lingkungan
Bicara tentang transisi energi, tentunya ke depannya, untuk mencapai penurunan emisi karbon, dibutuhkan pasokan mineral kritis yang cukup besar. Energi bersih yang banyak diklaim terbarukan, seperti energi angin dan surya, memerlukan teknologi untuk menangkap dan menyimpan energi tersebut, yang bahan bakunya justru merupakan energi yang tidak terbarukan.
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh McNulty & Jowitt (2021), energi bersih memerlukan teknologi seperti baterai, panel surya, dan kendaraan listrik, yang bahan bakunya sangat bergantung pada mineral kritis, di mana penambangan secara besar dan terus menerus akan diperlukan.
Dikutip dari esdm.go.id, Pemerintah Indonesia melalui Badan Geologi telah memetakan sebaran mineral kritis, yang jumlahnya mencapai 47 komoditas, di antaranya lithium dan boron.
Salah satu tantangan terbesar dalam transisi energi adalah paradoks yang muncul. Banyak negara dan perusahaan berinvestasi dalam energi terbarukan, tetapi malah bergantung pada ekstraksi sumber daya yang menimbulkan jejak karbon yang signifikan dalam prosesnya.
Misalnya, penambangan lithium untuk baterai kendaraan listrik rentan menyebabkan kekeringan karena membutuhkan banyak pasokan air dalam prosesnya. Penambangan mineral kritis sering kali dilakukan dengan metode yang merusak lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran tanah, dan kerusakan ekosistem lokal.
Berdasarkan analisis risiko yang disampaikan oleh IEA (2021), pasokan mineral kritis ini akan berdampak pada risiko iklim dan kelangkaan air di masa depan.
Dalam rangka mendukung kesepakatan negara-negara di dunia tentang net zero emission (NZE) pada 2060, pemerintah Indonesia berupaya melakukan transisi dari penggunaan mobil konvensional ke mobil listrik. Pemerintah Indonesia merancang strategi besar untuk menciptakan ekosistem mobil listrik dan baterai kendaraan listrik (EV) dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk transportasi jalanan.
Selain itu, penggunaan kendaraan listrik tentu saja memerlukan sumber daya, yaitu listrik. Salah satu tujuan utama dari transisi energi adalah mengurangi penggunaan energi kotor atau fosil, akan tetapi di Indonesia, sumber daya utama untuk menghasilkan pasokan listrik justru berasal dari energi fosil, yaitu batu bara yang diolah melalui PLTU.
Dengan kata lain, kebutuhan batu bara di Indonesia justru akan semakin meningkat. Paradoks ini menciptakan dilema, di mana tujuan untuk mencapai keberlanjutan energi malah bertentangan dengan praktik-praktiknya yang berpotensi semakin memperparah kerusakan lingkungan. Tidak aneh jika muncul pertanyaan, siapa yang paling diuntungkan dalam proses transisi energi ini?
Oligarki dalam Agenda Transisi Energi
Transisi energi menjadi salah satu tantangan terbesar abad ini, seiring dengan semakin besarnya kebutuhan akan sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Namun, di Indonesia, khususnya, di balik semangat perubahan dan perbaikan ini, terdapat berbagai dinamika kompleks yang melibatkan berbagai aktor, termasuk oligarki yang telah lama beroperasi dalam sektor energi, khususnya batu bara. Winters (2013) menjelaskan bahwa oligarki merujuk pada kelompok kecil yang memiliki kekuasaan dan pengaruh dominan, dan sering kali memainkan peran yang signifikan dalam pengambilan keputusan serta kebijakan energi.
Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, oligarki tambang batu bara dan energi fosil lainnya memiliki akses serta kapasitas untuk memengaruhi agenda transisi energi. Pengaruh ini dapat memperlambat atau bahkan menghambat perubahan menuju keberlanjutan.
Fenomena ini menciptakan “pusaran” di mana kepentingan ekonomi oligarki bertabrakan dengan aspirasi dan tujuan untuk mencapai keberlanjutan lingkungan.
Upaya global untuk mengatasi perubahan iklim yang semakin buruk, sering kali menjadikan sektor energi sebagai sumber ketegangan. Sementara masyarakat sipil berusaha untuk beralih ke energi terbarukan, oligarki justru dapat mengandalkan kekuatan ekonomi dan jaringan politik mereka untuk mempertahankan status quo.
Hal ini melahirkan dinamika kompleks, di mana tujuan transisi energi yang dicita-citakan harus bersaing dengan kepentingan bisnis oligarki yang lebih mapan.
Di Indonesia, misalnya, pemerintah sebelumnya malah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang justru memberikan perlindungan terhadap batu bara sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan.
Peraturan Presiden ini membuka keran dan memberikan kepastian serta perlindungan bagi rencana pembangunan pembangkit baru sebelum tahun 2030. Hal ini tentu berlawanan dengan semangat dan cita-cita transisi energi, terutama saat ini ketika pasokan listrik di Indonesia mengalami kelebihan akibat maraknya pembangkit batu bara.
Kelebihan pasokan ini sampai memaksa Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menerbitkan aturan yang membatasi penggunaan energi surya dalam skala rumah tangga di Indonesia. Terbaru, Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana membangun 100 gigawatt pembangkit listrik baru.
Melalui Delegasi Republik Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim PBB/Conference of the Parties (COP) ke-29, Hashim Djojohadikusumo menyatakan bahwa diperlukan anggaran sebesar USD 235 miliar, atau setara dengan Rp 3.709 triliun, untuk melaksanakan proyek ini.
Hashim, usai meresmikan Paviliun Indonesia di lokasi penyelenggaraan COP-29 di Baku Olympic Stadium, Azerbaijan pada 12 November 2024, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah menetapkan program investasi sebesar USD 235 miliar untuk 15 tahun ke depan hingga 2040. Mengingat kebutuhan anggaran yang sangat besar dalam agenda transisi energi di Indonesia, tentu akan menciptakan peluang untuk ketergantungan pada pemodal, dalam hal ini adalah oligarki.
Jika transisi energi di Indonesia hanya diarahkan kepada segelintir pemodal atau oligarki, dapat dipastikan bahwa agenda tersebut hanya akan sia-sia atau bahkan melahirkan petaka. Dalam konteks transisi energi, para oligarki ini cenderung hanya berorientasi pada pencarian laba yang sebesar-besarnya, sama seperti yang mereka lakukan dalam sektor energi fosil. Dalam pandangan bisnis mereka, dampak sosial terhadap masyarakat dan ekosistem lokal tidak menjadi prioritas bagi oligarki.
Menariknya, dalam laporan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2024, terungkap bahwa sebagian besar pemain bisnis sektor energi terbarukan di Indonesia didominasi oleh elit ekonomi-politik yang juga memiliki sektor bisnis di bidang energi fosil. Para pembisnis tersebut merupakan orang-orang yang dekat dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto, bahkan sebagian di antaranya masuk dalam struktur pemerintahan.
Hal ini berarti bahwa proyek-proyek terkait transisi energi di Indonesia hanya menjadi peluang bagi para pemain lama untuk berbisnis di sektor yang baru, serta memberikan sumber daya yang semakin besar untuk mempertahankan posisi mereka dalam bisnis di sektor energi.
Oleh: Ibrayoga Rizki Perdana
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. (j.red)