Palembang//Linksumsel-Dugaan korupsi kredit fiktif Bank BRI kepada PT BSS dan PT SAL terus mengemuka. Kasus ini berpotensi merugikan negara hingga Rp1,3 triliun, dengan kerugian nyata yang berpotensi tak tertagih mencapai Rp800 miliar.
Sumber persoalan ini bermula dari cover note yang diterbitkan oleh seorang notaris. Dokumen itu pada dasarnya hanya berupa pernyataan bahwa sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) masih dalam proses penyelesaian. Tidak memiliki nilai hukum maupun nilai finansial, cover note seharusnya sekadar catatan proses administratif.
Namun, dalam kasus ini, secarik kertas itu justru berubah seolah-olah menjadi dokumen bernilai hampir Rp.3 triliun. Hal tersebut terjadi karena cover note tersebut didukung pernyataan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumsel, Kementerian ATR, serta diperkuat dengan penilaian aset dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
“Kun faya kun. Maka jadilah kredit dengan agunan secarik cover note. Prinsip kehati-hatian perbankan diabaikan,” kata Deputi K-MAKI, Feri Kurniawan, kepada wartawan, Selasa (23/9).
Sawit Tak Sesuai Klausal
Pinjaman senilai Rp1,3 triliun itu sedianya digunakan untuk pengembangan kebun sawit milik PT BSS dan PT SAL. Namun, hasil panen tandan buah segar (TBS) disebut tidak sesuai dengan rencana dalam klausul pinjaman. Alhasil, pembayaran bunga dan pokok pinjaman macet.
“Dana pinjaman kemungkinan digunakan untuk kepentingan lain, termasuk investasi perusahaan induk PT PU. Bisa juga habis untuk biaya pembuatan HGU, cover note, ganti rugi lahan, atau bahkan fee proses di lapangan,” ujar Feri.
K-MAKI menilai hal ini merupakan cerminan lemahnya tata kelola sektor perbankan dan agraria, di mana kredit jumbo bisa cair hanya dengan dokumen administratif tanpa kepastian legalitas tanah.
Desakan Penegakan Hukum:
K-MAKI mendorong Kejaksaan agar tidak tebang pilih dalam memanggil saksi. Beberapa nama yang disebut, antara lain WS selaku pemilik PT PU yang juga induk PT BSS dan PT SAL, HS mantan Menteri ATR, serta N yang pernah menjabat Sekretaris Kanwil BPN Sumsel.
“Kerugian Rp800 miliar harus ditanggung oleh PT PU sebagai perusahaan induk. WS selaku pemegang saham utama harus dimintai pertanggungjawaban dengan pasal corporate crime,” tegas Feri.
Selain itu, K-MAKI juga menyoroti persoalan struktural di Kementerian ATR/BPN. Menurut mereka, praktik mafia jabatan dan mafia tanah yang diduga terjadi di Sumsel menjadi pintu masuk munculnya kasus serupa.
“Yusron Wahid sebagai Menteri ATR yang baru harus peka terhadap persoalan internal. Reformasi kinerja BPN mutlak dilakukan,” pungkas Feri. (J/red)