PALI//Linksumsel-Acara talkshow kebudayaan bertema “Ngirup Cuko” yang digelar Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VI Sumatera Selatan bersama salah satu televisi nasional di Kompleks Cagar Budaya Nasional Candi Bumi Ayu, Jumat (6/12/2025), menghadirkan perspektif menarik mengenai sejarah kawasan tersebut.
Sehingga muncul pertanyaan besar bagi publik, bahkan salah satu tokoh politik central di Sumatera Selatan yaitu Gubernur H. Herman Deru.
Kepala BPK Wilayah VI sekaligus arkeolog, Kristanto, memaparkan makna filosofis Candi Bumi Ayu yang menurutnya menjadi representasi penting nilai toleransi sejak abad lampau.
“Kemaren pada saat acara Pestival Candi Bumi Ayu saya sempat di tanya sama pak Gubernur, Apa sih nilai lebih dari Candi Bumi Ayu ini,” kata Kristanto.
Jejak Toleransi dari Abad ke-7
Kristanto menjelaskan bahwa Candi Bumi Ayu dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, yang mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-7 hingga abad ke-11. Meski Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan atau kedatuan yang didominasi agama Buddha, temuan arsitektur Hindu berukuran besar di Bumi Ayu membuktikan keberagaman hidup berdampingan sejak masa itu.
“Kerajaan Sriwijaya dominan dengan agama Buddha. Tapi di kawasan mereka berdiri sebuah candi Hindu yang cukup besar. Artinya, ini bentuk toleransi yang disampaikan Sriwijaya sampai kepada kita saat ini,” ujarnya.
Kristanto menegaskan bahwa umat Hindu di kawasan itu dapat hidup dan menjalankan ajarannya meski berbeda dengan arus utama Sriwijaya kala itu.
“Ada nilai-nilai toleransi. Walaupun berbeda dengan dominasi agama Buddha, umat Hindu tetap hidup sesuai aturan yang ada. Ini pelajaran bahwa kita harus menghargai perbedaan,” katanya.
Menurutnya, keberadaan Candi Bumi Ayu sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat PALI memiliki akar budaya toleransi yang kuat sejak zaman kuno.
“Budaya masyarakat PALI terbukti dari zaman dahulu sangat kental dengan toleransi,” tegasnya.
Pemugaran Belum Selesai, Butuh Keahlian Tingkat Tinggi
Terkait kondisi fisik Candi Bumi Ayu saat ini, Kristanto menjelaskan bahwa proses pemugaran belum dilakukan secara total karena masih membutuhkan kajian mendalam dan tenaga ahli khusus.
“Candi-candi di Bumi Ayu belum selesai dipugar secara utuh karena kita belum melihat bentuk aslinya secara lengkap,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pemugaran menyeluruh membutuhkan keahlian tingkat tinggi, terutama karena banyak arca dan komponen asli candi yang harus dikembalikan ke posisi autentiknya.
“Mengembalikan arca ke posisi asli adalah pekerjaan besar. Dibutuhkan orang-orang yang betul-betul kompeten dan terbiasa menangani pemugaran dengan tingkat kesulitan tinggi,” katanya.
Dari temuan artefak yang ada, Kristanto yakin bahwa Candi Bumi Ayu pada masa lampau merupakan bangunan “raya dengan hiasan”, sebuah istilah yang merujuk pada arsitektur megah dan penuh detail estetika.
Harapan Rekonstruksi yang Lebih Indah
Kristanto optimistis pemugaran Candi Bumi Ayu dapat dilakukan lebih sempurna di masa mendatang seiring bertambahnya tenaga ahli dan dukungan berbagai pihak.
“Insya Allah ke depan, jumlah tenaga kita makin banyak dan kita bisa mengundang ahli di bidangnya. Suatu hari, kita bisa rekonstruksi atau fugar lebih cantik lagi,” harapnya.
Acara talkshow Kebudayaan Candi Bumi Ayu di PALI bertema “Ngirup Cuko” ini tidak hanya menyajikan tradisi kuliner khas Sumsel, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang sejarah panjang toleransi di bumi Serapat Serasan, lewat jejak peradaban yang masih berdiri kokoh di Candi Bumi Ayu. (j/red)
Link Sumsel Sumber Informasi Independen