Wacana Pemekaran Kabupaten Gelumbang, Menanti Hadirnya Negara Dari Dekat

LINKSUMSEL-Calon Daerah Otonomi Baru (CDOB) Gelumbang menuntut pemekaran bukan demi birokrasi baru, tapi demi keadilan layanan publik dan hadirnya negara secara nyata.
Wacana pemekaran wilayah Gelumbang Raya di Sumatera Selatan kembali mengemuka. Enam kecamatan, yakni Gelumbang, Sungai Rotan, Lembak, Muara Belida, Kelekar, dan Belida Darat, hidup dalam bayang-bayang keterpencilan administratif dari Kabupaten Muara Enim.

Terpisah oleh Kota Prabumulih dan harus menempuh perjalanan hingga lima jam untuk mengakses pusat pemerintahan, masyarakat Gelumbang justru merasa lebih dekat ke Palembang, ibu kota provinsi, dibanding ke kabupaten induk mereka sendiri.Isolasi ini bukan semata soal jarak. Ia menyentuh inti dari ketimpangan struktural: sulitnya akses terhadap layanan dasar seperti administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan menciptakan jurang antara Gelumbang dan wilayah lain yang lebih dekat ke pusat kekuasaan.

Ketika untuk mendapatkan akta lahir saja warga harus mengorbankan waktu dan biaya besar, maka jelas ada yang tidak beres dalam desain pelayanan publik kita.

Padahal, Gelumbang Raya bukan wilayah tanpa potensi. Lahan pertanian yang luas dan subur, geliat industri kecil-menengah, serta posisi strategis dalam jaringan logistik provinsi merupakan modal dasar yang menjanjikan. Namun, tanpa dukungan infrastruktur yang memadai dan perhatian kebijakan dari pemerintah kabupaten, potensi ini seolah dibiarkan tidur panjang.

Para petani kesulitan menyalurkan hasil panen, pelaku UMKM kekurangan pelatihan, dan pertumbuhan ekonomi berjalan tertatih Dalam situasi seperti ini, gagasan pembentukan Gelumbang sebagai Calon Daerah Otonomi Baru (CDOB) muncul sebagai upaya mempercepat pembangunan dan mendekatkan pelayanan publik. Namun, jalan ini tidak tanpa tantangan.

Pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium pemekaran wilayah sejak 2014, dengan alasan banyaknya daerah baru yang belum berhasil mandiri secara fiskal maupun administratif.

Baca juga:  Jajaran Polres PALI Melakukan Pengamanan Kegiatan Jalan Santai dan Senam Sehat

Di tengah kebijakan tersebut, pertanyaan krusial pun muncul: apakah Gelumbang cukup siap untuk menjadi CDOB yang efektif dan berkelanjutan? Atau akankah ia justru menjadi beban baru dalam sistem pemerintahan yang sudah kompleks?

Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada cara kita memahami pemekaran itu sendiri. Bila hanya dimaknai sebagai penambahan struktur birokrasi, tentu pemekaran patut diwaspadai. Namun, bila ditujukan untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat dan menghadirkan negara secara lebih dekat dan responsif, maka Gelumbang justru menghadirkan urgensi tersebut dengan nyata.

Pemekaran harus dirancang dengan cermat, bukan serampangan. Gelumbang perlu menyusun proyeksi fiskal yang realistis, peta jalan pembangunan jangka menengah, serta menunjukkan kesiapan kelembagaan dan sumber daya manusia. Prinsip tata kelola yang transparan dan partisipatif harus menjadi fondasi sejak awal, agar CDOB ini tidak sekadar menjadi simbol administratif.

Jika kebijakan moratorium tetap berlaku, maka pemerintah pusat dan provinsi dapat menghadirkan solusi antara.

Misalnya, melalui pembentukan Unit Layanan Administrasi Terpadu (ULAT) atau pembukaan kantor cabang pemerintah kabupaten induk di Gelumbang. Skema transisi semacam ini dapat meningkatkan akses pelayanan publik sembari mempersiapkan fondasi pemerintahan daerah yang kokoh.

Kasus Gelumbang merupakan pengingat penting bahwa desentralisasi tidak bisa dipraktikkan dengan pendekatan “satu ukuran untuk semua”. Desain kebijakan harus adaptif terhadap realitas sosial, geografis, dan ekonomi lokal. Negara harus cukup peka untuk melihat bahwa keadilan spasial mensyaratkan keberanian untuk bertindak kontekstual, bukan hanya normatif.

Gelumbang tidak sekadar menanti status administratif. Ia menuntut pengakuan dan kehadiran negara dalam bentuk yang konkret, setara, dan terjangkau. Dan bisa jadi, dari Gelumbang, kita menemukan harapan baru bahwa otonomi daerah bukan hanya agenda birokrasi, melainkan langkah nyata menuju pelayanan publik yang inklusif dan berkeadilan.

Baca juga:  Bahayakan Keselamatan, Proyek Jembatan Gantung Kuripan Selatan Empat Petulai Dangku Muara Enim Diprotes Warga & Kades

“Ibrayoga Rizki Perdana
Penulis Indonesiana.
Pemerhati demokrasi dan politik lokal, mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, serta penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). (J.red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *